Bahan 4
1.
Pengaruh Proklamasi Terhadap
Hukum Agraria
Proklamasi
Kemerdekaan RI mempunyai 2 arti penting bagi penyusunan Hukum
Agraria Nasional :
a.
Bangsa Indonesia
memutuskan hubungannya dengan
Hukum Agraria colonial Bangsa Indonesia sekaligus menyusun
Hukum agraria Nasional.
b.
Berdasarkan Pasal II aturan peralihan
UUD 1945, Badan negara dan
peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial dinyatakan
masih berlaku selama tidak bertentangan
dengan UUD 1945, belum dicabut,
belum diubah, atau belum diganti
dengan hukum yang baru.
c.
Hukum Agraria nasional sesuai dengan
pancasila dan tujuan sebagai yang
ditegaskan di dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD
1945 yaitu “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d.
Ketentuan Pasal 33
ayat 1 UUPA bersifat
imperatif, karena mengandung perintah
kepada Negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, diletakkan dalam
penguasaan Negara untuk dipergunakan
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia
e.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka adalah menggunakan kebijaksanaan dan tafsiran baru Hukum agraria didasarkan kebijaksanaan baru
dengan tafsiran yang baru sesuai dengan jiwa
Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD
1945.
f.
Tafsiran baru, contohnya adalah mengenai
hubungan antara negara dengan
tanah, tidak lagi menerapkan
domein verklaring, (negara tidak lagi
sebagai pemilik tanah melainkan sebagai organisasi kekekuasaan seluruh rakyat Indonesia
sehingga hanya menguasai tanah.
2.
Perubahan Mendasar Hukum Agraria
a.
Penghapusan konversi
Salah satu warisan feodal yang sanagat
merugikan rakyat, adalah
lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta
dan Yogyakarta. Di daerah ini semua tanah dianggap
milik raja (stelsel apanage). Tanah-tanah
oleh raja atau pemegang hak disewakan kepada
pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian. Berdasarkan
Stb. 1918 No.20, para pengusaha asing tersebut mendapatkan
hak atas tanah oleh raja yang disebut hak konversi
(beschikking konversi/keputusan raja. UU No.13/1948 mencabut Stb. 1918 No.20 dan kemudian
dengan UU No.5/1950, secara tegas dinyatakan bahwa lembaga
konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek
yang membebaninya menjadi hapus
b.
Penghapusan tanah patikelir
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI
melakukan pembelian tanah-tanah
partikelir, namun hasilnya tidak memuaskandikarenakan
tidak tersedianya dana yang cukup karena tuan-tuan
tanah yang bersangkutan menuntut harga yang sangat
tinggi. UU.No. 1/1958 tentang penghapusan tanah
patikelir, hak-hak pemilik
tanah partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya
hapus. Tanah bekas tanah partikelir tersebut
seluruhnya serentak menjadi
tanah Negara Tanah
partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugiannya
telah selesai
c.
Perubahan peraturan
persewaan tanah rakyat
Peraturan persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan besar dan orang-orang bukan Indonesia asli
diatur dalam 2 peraturan;yaitu :
1)
Grondhuur Ordonnantie Stb.1918 No.88 (daerah
pemerintahan langsung).
2)
Voerstenlands
Grondhuurreglement Stb. 1918 No.20 (daerah
swapraja).
Setelah Indonesia merdeka kedua peraturan tersebut diubah untuk disesuaikan
dengan kondisi pasca proklamasi dengan:
1)
UU darurat No. 6/1951 disusul
dengan Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas
tanah.
2)
UU darurat No. 1/1952
tentang pemindahan
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada
hukum eropa.
3)
UU No.76/1957 tentang keharusan izin dari
menteri apabila serah pakai lebih dari 1 tahun.
4)
UU No.28/1956 tentang pengawasan
terhadap pemindahan hak-hak atas tanah perkebunan
erfpacht, eigendom dan lain-lain hak kebendaan.
5)
UU No.35 Tahun 1956
tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah perkebunan
konsesi, kemudian
di ubah dengan PP. No.21/1959.
Peraturan-peraturan tersebut diatas dimaksudkan untuk pengawasan serta
adanya jaminan bahwa penerima hak mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik
dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan
objek spekulasi belaka.
d.
Peraturan dan tindakan-tindakan mengenai
tanah-tanah perkebunan UU
No.29/1956.
1)
Menteri Agraria dan Pertanian berwenang
melakukan tindakan-tindakan agar tanah-tanah
perkebunan yang mempunyai fungsi sangat
penting dalam perekonomian negara diusahakan dengan baik.
2)
Tanaman dan bangunan diatas tanah hak
eigendom,hak erfpacht menurut keputusan
Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan
pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian
ganti kerugian.
3) Adanya
kenaikan canon (uang yang wajib di bayar oleh pemegang
hak erfpacht setiap tahunnya kepada Negara) dan cijn (uang yang wajib dibayar oleh
pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar).
Berdasaarkan UU No.78/1957 tentang perubahan canon dan
cijn atas hak-hak erfpacht dan konsesi
guna perubahan perkebunan besar, selambat-lambatnya 5 tahun
sekali harus ditinjau. Setelah
Indonesia merdeka, sebagian besar tanah-tanah perkebunan sudah
dibuka dan diusahakan.
e.
Larangan dan penyelesaian soal pemakaian
tanah tanpa izin.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian
tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya diatur oleh UU No.51 Prp th.1960. UU ini kemudian diganti UU No.1/1961 yang dalam Pasal
6 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan dilarang dan
diancam pidana. Pasal
3 menyatakan dapat dilakukan penyelesaian dengan cara lain dengan
mengingat kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang
bersangkutan dan rencana peruntukan serta penggunaan tanah yang dipakai.
f.
Peralihan tugas dan wewenang agrarian.
1)
Sejak Indonesia merdeka sampai dengan
tahun 1955 urusan agraria berada dilingkungan
Menteri Dalam Negeri.
2)
Berdasarkan Keputusan
Presiden No. 55/1955 dibentuk Kementerian Agraria
terpisah dengan Kementerian Dalam Negeri.
3)
Berdasarkan Keppres No. 190/1957 ditetapkan bahwa
Jawatan Pendaftaran Tanah
yang semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan ke dalam Kementerian Agraria.
4)
Berdasarkan UU No. 7/1958 ditetapkan pengalihan tugas
dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Mentari Agraria, serta pejabat-pejabatnya di daerah.
3.
Faktor-Faktor Penting Dalam Pembangunan Hukum Agraria.
a.
Faktor Formal
Keadaan Hukum agraria di
Indonesia sebelum diundangkannya UUPA dalam keadaan peralihan,/keadaan sementara
waktu, karena peraturan-peraturan yang berlaku didasarkan
pada peraturan peralihan yang terdapat dalam :
1) Pasal 142 UUDs 1950,
2)
Pasal 192 Konstitusi RI Serikat dan
3) pasal 2 peraturan peralihan UUD 1945
b.
Faktor materiil
1) Hukum
agraria kolonial mempunyai sifat dualisme meliputi hukum, subjek hukum maupun objek hukum.
2) Hukumnya,
yaitu Hukum agraria barat yang diatur dalam KUH perdata maupun Agrarische Wet, dipihak lain berlaku
hukum agraria
adat diatur Hukum adat tentang tanah masing-masing.
3) Subyeknya,
hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, pihak agraria adat berlaku
bagi orang-orang
tunduk pada hukum adat
4) Obyek
hukumnya adalah hak atas tanah diperuntukkan bagi orang-orang yang tunduk pada hukum
barat dan hak atas tanah diperuntukkan bagi
orang-orang tunduk pada hukum adat
5) Setalah
Indonesia Merdeka, maka sifat dualisme hukum digantikan dengan sifat unifikasi hukum (kesatuan) yang berlaku secara nasional
c.
Faktor ideal
1) Faktor
ideal (tujuan negara) hukum agraria colonial tidak sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD
1945.
2) Hukum
agraria kolonial tujuannya untuk kepentingan, keutungan, kesejateraan dan kemakmuran pemerintah
Hindia Belanda, orang-orang dari golongan Belanda, Eropa dan timur asing.
3) Tujuan
Hukum agraria Nasional ,untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar- besarnya
bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Faktor
Agraria Modern
1) Lapangan
social : Masalahnya adalah bagaimana hubungan antara pemilik dengan bukan pemilik tanah harus diatur untuk
kesejahteraan rakyat
2) Lapangan
ekonomi : Masalahnya bagaimana penggunaan tanah harus diatur agar dapat
memberikan hasil produktif yang optimal atau mencapai titik optimum
3) Lapangan
etika : Masalahnya adalah bagaimana penggunaan tanah itu diatur agar selain dapat memberikan kesejahteraan pada
pemiliknya, juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa
4) Lapangan
idiil fundamental : Masalahnya adalah apakah WNI boleh mempunyai hak milik atas
tanah tanpa batas luas dan jumlahnya di Indonesia.
e. Faktor
Ideologi politik
1) Dalam
penyusunan Hukum agrarian nasional mengadopsi Hukum Agraria negara lain
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
2) UUD 1945
dijadikan faktor dasar dalam pembangunan Hukum Agraria Nasional