Saterdag 16 Maart 2013

Perkembangan Hukum Agraria Nasional



Bahan 4
 
1.      Pengaruh Proklamasi Terhadap Hukum Agraria
Proklamasi Kemerdekaan RI mempunyai 2 arti penting bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional :
a.      Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria colonial Bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum agraria Nasional.
b.      Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945, Badan negara dan peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, belum dicabut, belum diubah, atau belum diganti dengan hukum yang baru.
c.       Hukum Agraria nasional sesuai dengan pancasila dan tujuan sebagai yang ditegaskan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d.      Ketentuan Pasal 33 ayat 1 UUPA bersifat imperatif, karena mengandung perintah kepada Negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, diletakkan dalam penguasaan Negara untuk dipergunakan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia
e.      Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka adalah menggunakan kebijaksanaan dan tafsiran baru Hukum agraria didasarkan kebijaksanaan baru dengan tafsiran yang baru sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
f.        Tafsiran baru, contohnya adalah mengenai hubungan antara negara dengan tanah, tidak lagi menerapkan domein verklaring, (negara tidak lagi sebagai pemilik tanah melainkan  sebagai organisasi kekekuasaan seluruh rakyat Indonesia sehingga hanya menguasai tanah.
2.      Perubahan Mendasar Hukum Agraria
a.      Penghapusan konversi
Salah satu warisan feodal yang sanagat merugikan rakyat, adalah lembaga konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah ini semua tanah dianggap milik raja (stelsel apanage). Tanah-tanah oleh raja atau pemegang hak disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian. Berdasarkan Stb. 1918 No.20, para pengusaha asing tersebut mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hak konversi (beschikking konversi/keputusan raja. UU No.13/1948 mencabut Stb. 1918 No.20 dan kemudian dengan UU No.5/1950, secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek yang membebaninya menjadi hapus
b.      Penghapusan tanah patikelir
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI melakukan pembelian tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskandikarenakan tidak tersedianya dana yang cukup karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut harga yang sangat tinggi. UU.No. 1/1958 tentang penghapusan tanah patikelir, hak-hak pemilik tanah partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus. Tanah bekas tanah partikelir tersebut seluruhnya serentak menjadi tanah Negara Tanah partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugiannya telah selesai
c.       Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat
Peraturan persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan besar dan orang-orang bukan Indonesia asli diatur dalam 2 peraturan;yaitu :
1)         Grondhuur Ordonnantie Stb.1918 No.88 (daerah pemerintahan langsung).
2)         Voerstenlands Grondhuurreglement Stb. 1918 No.20 (daerah swapraja).
Setelah Indonesia merdeka kedua peraturan tersebut diubah untuk disesuaikan dengan kondisi pasca proklamasi dengan:
1)       UU darurat No. 6/1951 disusul dengan Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
2)       UU darurat No. 1/1952 tentang pemindahan tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum eropa.
3)       UU No.76/1957 tentang keharusan izin dari menteri apabila serah pakai lebih dari 1 tahun.
4)       UU No.28/1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak-hak atas tanah perkebunan erfpacht, eigendom dan lain-lain hak kebendaan.
5)       UU No.35 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah perkebunan konsesi, kemudian di ubah dengan PP. No.21/1959.
Peraturan-peraturan tersebut diatas dimaksudkan untuk pengawasan serta adanya jaminan bahwa penerima hak mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.
d.      Peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan UU No.29/1956.
1)       Menteri Agraria dan Pertanian berwenang melakukan tindakan-tindakan agar tanah-tanah perkebunan yang mempunyai fungsi sangat penting dalam perekonomian negara diusahakan dengan baik.
2)       Tanaman dan bangunan diatas tanah hak eigendom,hak erfpacht menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian ganti kerugian.
3)       Adanya kenaikan canon (uang yang wajib di bayar oleh pemegang hak erfpacht setiap tahunnya kepada Negara)  dan cijn (uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar). Berdasaarkan UU No.78/1957 tentang perubahan canon dan cijn atas hak-hak erfpacht dan konsesi guna perubahan perkebunan besar, selambat-lambatnya 5 tahun sekali harus ditinjau. Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan diusahakan.
e.      Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa izin.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya diatur oleh UU No.51 Prp th.1960.  UU ini kemudian diganti UU No.1/1961 yang dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan dilarang dan diancam pidana. Pasal 3 menyatakan dapat dilakukan penyelesaian dengan cara lain dengan mengingat kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan serta penggunaan tanah yang dipakai.
f.        Peralihan tugas dan wewenang agrarian.
1)       Sejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1955 urusan agraria berada dilingkungan Menteri Dalam Negeri.
2)       Berdasarkan Keputusan  Presiden No. 55/1955 dibentuk Kementerian Agraria terpisah dengan Kementerian Dalam Negeri.
3)       Berdasarkan Keppres No. 190/1957 ditetapkan bahwa Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan ke dalam Kementerian Agraria.
4)       Berdasarkan UU No. 7/1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Mentari Agraria, serta pejabat-pejabatnya di daerah.
3.      Faktor-Faktor Penting Dalam Pembangunan Hukum Agraria.
a.      Faktor Formal
Keadaan Hukum agraria di Indonesia sebelum diundangkannya UUPA dalam keadaan peralihan,/keadaan sementara waktu, karena peraturan-peraturan yang berlaku  didasarkan pada peraturan peralihan yang terdapat dalam :
1)       Pasal 142 UUDs 1950,  
2)       Pasal 192 Konstitusi RI Serikat dan
3)      pasal 2 peraturan peralihan UUD 1945
b.      Faktor materiil
1)       Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme meliputi hukum, subjek hukum maupun objek hukum.
2)       Hukumnya, yaitu Hukum agraria barat yang diatur dalam KUH perdata maupun Agrarische Wet, dipihak lain berlaku hukum agraria adat diatur Hukum adat tentang tanah masing-masing.
3)       Subyeknya, hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, pihak agraria adat berlaku bagi orang-orang tunduk pada hukum adat
4)       Obyek hukumnya adalah hak atas tanah diperuntukkan bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat dan hak atas tanah diperuntukkan bagi orang-orang tunduk pada hukum adat
5)       Setalah Indonesia Merdeka, maka sifat dualisme hukum digantikan dengan sifat unifikasi hukum (kesatuan) yang berlaku secara nasional
c.       Faktor ideal
1)       Faktor ideal (tujuan negara) hukum agraria colonial tidak sesuai dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
2)       Hukum agraria kolonial tujuannya untuk kepentingan, keutungan, kesejateraan dan kemakmuran pemerintah Hindia Belanda, orang-orang dari golongan Belanda, Eropa dan timur asing.
3)       Tujuan Hukum agraria Nasional ,untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar- besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.


d.      Faktor Agraria Modern
1)       Lapangan social : Masalahnya adalah bagaimana hubungan antara pemilik dengan bukan pemilik tanah harus diatur untuk kesejahteraan rakyat
2)       Lapangan ekonomi : Masalahnya bagaimana penggunaan tanah harus diatur agar dapat memberikan hasil produktif yang optimal atau mencapai titik optimum
3)       Lapangan etika : Masalahnya adalah bagaimana penggunaan tanah itu diatur agar selain dapat memberikan kesejahteraan pada pemiliknya, juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa
4)       Lapangan idiil fundamental : Masalahnya adalah apakah WNI boleh mempunyai hak milik atas tanah tanpa batas luas dan jumlahnya di Indonesia.
e.      Faktor Ideologi politik
1)       Dalam penyusunan Hukum agrarian nasional mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
2)       UUD 1945 dijadikan faktor dasar dalam pembangunan Hukum Agraria Nasional

























Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking