“Buat apa menikah? Romantisme sudah
mati.” Fiona memulai obrolan hari itu dengan straight forward. Ketika
beberapa dari kita mengidamkan sebuah momen spesial bersama pasangan
lewat pernikahan, Fiona belum menemukan titik tersebut sebagai salah
satu tujuan hidupnya. Menurutnya pernikahan itu justru sesuatu yang
menyeramkan. Hidup sendiri bukan sesuatu hal yang mudah, namun bukan
tidak mungkin. Ia selalu berpikir bahwa melibatkan dua orang dalam satu
hubungan itu sangat sulit. Sepertinya menggabungkan dua hati dan pikiran
butuh usaha keras baginya.
Bukan
tanpa alasan Fiona berpikir pernikahan adalah sesuatu yang sulit. Semasa
hidupnya, pasangan-pasangan menikah yang ada di sekitarnya tidak ada
yang menunjukkan sisi romantisme sebuah pernikahan. “Pernikahan seperti
tanggung jawab, tuntutan, dan bisnis. Mereka menikah karena sudah
pacaran 5 tahun, atau karena sudah umurnya. Bukan karena ‘he or she is
the only one and I want to spend my whole life with him/her.’
Terakhir
kali Fiona melihat sepasang suami-istri di sekitarnya saling
memperlihatkan kasih sayang adalah saat ia kecil, ketika orangtuanya
masih harmonis dan belum bercerai. Kedua orangtua Fiona bercerai saat
dia berumur 9 tahun. “Sampai sekarang alasan mereka bercerai masih belum
ada yang bisa aku cerna dengan baik. Versi Mama dan Papa berbeda.
Sangat membingungkan.” Hanya selang satu tahun setelah perceraian itu
kemudian ibu Fiona menikah kembali dengan laki-laki yang sampai sekarang
menempati peran ayah dalam keluarganya. “Semua begitu cepat dan
mengagetkan. Belum selesai rasanya aku beradaptasi dengan peristiwa
perceraian itu, lalu Mama sudah menikah kembali. Kalau ditanya alasan
kenapa menikah cepat sekali, pasti Mama malah balik menyalahkan aku yang
selalu merengek meminta ayah. Padahal maksudnya aku menanyakan ayah
kandungku.” Menikah bagi Fiona menjadi seperti hanya main-main.
Setelah
bertahun-tahun berlalu dan Fiona mendapatkan seorang adik dari Ayahnya
yang sekarang, tidak kemudian membuat Fiona berpikir ulang tentang
pernikahan. Keadaan semakin parah ketika Ayah tiri Fiona menjadi
pengangguran empat tahun yang lalu. Posisi Ibunya sekarang masih seperti
single parent yang membiayai hidupnya sendiri, dan Ayah tirinya hanya
‘numpang’ di rumahnya. Tidak pernah ada interaksi yang menunjukkan bahwa
mereka berdua adalah sepasang suami istri, kecuali jika dituntut untuk
pergi bersama di depan keluaga besar.
“Mama
terlihat tidak bahagia selama belasan tahun menikah. Dia gagal
menemukan partner dalam hidupnya yang bisa membawa dalam suka duka. Pada
akhirnya, anak-anaknyalah yang menjadi korban.” Setiap harinya ibu
Fiona tidak lepas dari pembicaraan tentang pernikahan di depan Fiona. Di
usianya yang sekarang memang sudah waktunya Fiona memikirkan
pernikahan, membuat Fiona semakin muak dengan istilah pernikahannya.
Hubungan Fiona dengan pacarnya sekarang juga semakin memperburuk
keadaan. “Aku dan pacarku hanya seperti formalitas dan jalan di tempat.
Tidak tahu arah hubungan ini kemana. Aku seperti terperangkap dalam masa
lalu dan masa sekarang. If you have no one to share with, then what’s
the point? Pacaran itu overrated, dan menikah itu gambling.”
Walaupun
setengah hati Fiona tidak rela jika kehidupannya berakhir seperti
ibunya, namun tetap ada Fiona kecil dan cerita fairy tale yang
mengharapkan adanya seorang laki-laki yang membawanya ke petualangan
baru kehidupan.
Ketika masalah
seperti ini tersimpan terus-menerus dan menjadi sebuah keyakinan, maka
selamanya keputusan menikah akan menjadi hal yang tidak membuatnya
nyaman. Paparan ini dikatakan oleh psikolog Rangga Radityaputra, M.Psi,
Psi. “Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengeluarkan
emosi. Temukan teman curhat yang bisa mendengarkan dan dipercaya.
Ceritalah tentang semua hambatan dan apa yang sedang dirasakan dan
terjadi. Ini bukan soal menyelesaikan masalah, tapi untuk membuat kamu
lebih nyaman.” Rangga juga menyarankan ketika bermasalah dengan hal
seperti ini, temukan orang kedua yang dapat membantumu secara
profesional. “Melakukan counseling tidak hanya membantu dalam pandangan
masalah pernikahan saja, tapi juga keseluruhan kamu memandang
kehidupan,” tambah Rangga.
Pernikahan
bukanlah bersifat sementara, melainkan sebuah ikatan di atas janji suci
dengan Yang Maha Kuasa bersama orang yang kita cintai, for his best and
worst. Ketika komitmen hubungan dibawa ke jenjang ini, harapan untuk
bahagia selamanya seperti dongeng anak bukanlah tidak mungkin untuk
dicapai, namun harus dilakukan dengan keyakinan dan usaha. Seperti apa
yang pernah dikatakan oleh Audrey Hepburn, “If I get married, I want to
be very married.”
Apakah kamu mengalami pengalaman yang sama dengan Fiona?
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking